Pages

Jumat, 08 November 2013

My Journey : Paris, Bintang yang Berkilau dari Kejauhan


15 Agustus, kami menikmati breakfast pertama kami di daratan Eropa ini. Rasanya sedikit tidak nyaman dengan menu yang tidak biasa ini. Saya yang biasanya hanya makan bubur dan sambel tumpang, sekarang harus makan roti gandum yang rasanya aneh. Dan saat itu, kami menemukan keanehan dari hotel  besar ini. Hotel yang memiliki 4 lantai ini hanya memiliki 4 atau 5 pelayan saja. Saya berpikir, apakah tidak kerepotan menjalankan hotel sebesar ini hanya dengan 5 personil? Ternyata tidak, karena setiap pengunjung yang datang, dengan penuh kesadaran akan memenuhi kebutuhannya sendiri, dan menjaga kebersihannya sendiri. Jadi pelayan tidak perlu repot bolak balik dari kamar satu ke yang lain untuk membersihkan sampah.
Tepat pukul 8 pagi, kami meninggalkan Amsterdam yang dinginnya masih terasa jelas untuk menuju ke negara kelahiran ilmuwan hebat idolaku, Blaise Pascal, Perancis. P
agi itu kami juga diperkenalkan dengan driver baru kami yang sungguh ramah, namanya Arthur. Beliau orang yang sangat cinta kebersihan, jadi beliau selalu menyediakan kantong plastik untuk menjaga kebersihan busnya, beliau bilang, bisnya adalah rumahnya. Setelah menjelajahkan mata ke segala sudut, pandanganku selalu menangkap tulisan ataupun gambar yang memberikan kode agar kita selalu mengenakan sabuk pengaman. Ternyata di negara maju seperti di sini, penumpang bispun harus memakai sabuk pengaman sebagai jaminan keselamatan, atau apabila ketahuan polisi akan didenda. Padahal menurut saya, tidak memakai sabuk pengamanpun tidak akan membuat badan kita bergoncang karena jalan disini sangatlah halus. Tapi itulah bukti bahwa orang di negara maju sangat mencintai nyawanya.
Dalam perjalanan menuju ke Perancis, kita melewati Belgia, lebih tepatnya Kota Antwerb. Kota ini sangat terkenal dengan kejunya. Itu semua dibuktikan dengan banyaknya sapi yang kita lihat berkeliaran bebas di padang rumput tepi jalan. Gulungan jerami sisa panen juga menyambut kami seperti permadani yang digulung berjajar rapi di atas tanah yang telah terpangkas rata. Traktor traktor yang sedang bekerjapun menjadi pemandangan yang unik bagi kami yang lebih sering melihat kerbau berpasangan dengan bajaknya. Traktor ini menjadi salah satu bukti majunya teknologi di negara ini. Ini juga membuktikan bahwa penduduk di daerah ini mau menerima perubahan seperti mekanisasi ini.
Setelah 3,5 jam perjalanan indah ini, kami berhenti sejenak di rest area di Kota Antwerb ini. Udara di sini tidak terlalu berbeda dengan Amsterdam, masih kering dan dingin yang kami tangkap di kulit kami. Kami di sini makan siang dengan menu Indonesia. Meskipun rasanya cukup berbeda dengan menu asli indonesia, tapi itu lumayan melegakan perut kami yang memang 100% perut orang Indonesia.
Kami melanjutkan perjalanan lagi menuju kota tempat berdirinya menara indah, Eiffel. Setelah beberapa jam menghabiskan waktu di dalam bis, akhirnya kami sampai di pusat peradaban bangsa eropa ini. Setelah sampai, jujur saja aku sedikit kecewa, ternyata tidak seindah yang aku bayangkan, karena bangunannya tidak sebagus Amsterdam kemarin.
Setelah melewati Sungai Seine, kekecewaanku sangat terobati dengan keindahan sungai ini. Sungainya begitu bersih dan temboknya digambari dengan sangat indah. Banyak orang yang berlalu lalang disekitar sini juga membuatnya semakin terlihat sebagai pusat peradaban. Di jalanan sekitar sungai Seine juga macet, pembuktian besar kalo memang tempat ini memiliki peminat yang sangat banyak. Dan tampaknya ada banyak oknum yang memanfaatkan keadaan itu. Yaitu para pencopet, banyak sekali orang orang yang memiliki profesi dadakan menjadi pencopet di tempat ini, terbukti berulang kali driver dan guide kami mengingatkan bahwa kami harus benar benar berhati hati dengan copet.
Ketika turun dari bis kami merasakan kulit kami tidak nyaman karena ternyata Paris sangat panas di musim panas, dan sangat berbeda dari kota kota sebelumnya yang sangat dingin.
Setelah sampai di depan menara Eiffel, wow, wow. Ini dia menara yang disebut sebut manusia di seluruh dunia. Indah, megah, dilihat dari kejauhan Eiffel memang seperti bintang yang bersinar paling terang di langit malam. Paling terlihat, paling mencuat, paling berwibawa. Pemandangan di lapangan di depan Eiffel juga tak kalah menarik. Tanah lapang yang luas yang disampingnya berjajar rapi pepohonan hijau dan berujung pada sebuah bangunan yang cukup artistik. Sayangnya tempat ini malah menjadi tempat favorit bagi pasangan pasangan muda untuk melakukan kegiatan yang menurut orang Indonesia kurang pantas.

Lalu kami mengunjungi Arc de Triomphe. Di tempat itu kami juga bertemu dengan teman satu tanah air, yaitu dari Surabaya. Orang dari Surabaya, sepertinya cukup mudah bagi mereka mengenali wajah wajah orang Indonesia di kerumunan orang orang yang sangat banyak ini. Setelah sibuk berbelanja barang yang cukup mahal dan terlalu mahal di sekitar Arc de Triomphe, kami menuju ke Hotel untuk dinner dan mengistirahatkan tubuh kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar