15 Agustus, kami
menikmati breakfast pertama kami di
daratan Eropa ini. Rasanya sedikit tidak nyaman dengan menu yang tidak biasa
ini. Saya yang biasanya hanya makan bubur dan sambel tumpang, sekarang harus makan roti gandum yang rasanya aneh.
Dan saat itu, kami menemukan keanehan dari hotel besar ini. Hotel yang memiliki 4 lantai ini
hanya memiliki 4 atau 5 pelayan saja. Saya berpikir, apakah tidak kerepotan
menjalankan hotel sebesar ini hanya dengan 5 personil? Ternyata tidak, karena
setiap pengunjung yang datang, dengan penuh kesadaran akan memenuhi
kebutuhannya sendiri, dan menjaga kebersihannya sendiri. Jadi pelayan tidak
perlu repot bolak balik dari kamar satu ke yang lain untuk membersihkan sampah.
Tepat pukul 8
pagi, kami meninggalkan Amsterdam yang dinginnya masih terasa jelas untuk
menuju ke negara kelahiran ilmuwan hebat idolaku, Blaise Pascal, Perancis. P
agi
itu kami juga diperkenalkan dengan driver
baru kami yang sungguh ramah, namanya Arthur. Beliau orang yang sangat
cinta kebersihan, jadi beliau selalu menyediakan kantong plastik untuk menjaga
kebersihan busnya, beliau bilang, bisnya adalah rumahnya. Setelah menjelajahkan
mata ke segala sudut, pandanganku selalu menangkap tulisan ataupun gambar yang
memberikan kode agar kita selalu mengenakan sabuk pengaman. Ternyata di negara
maju seperti di sini, penumpang bispun harus memakai sabuk pengaman sebagai
jaminan keselamatan, atau apabila ketahuan polisi akan didenda. Padahal menurut
saya, tidak memakai sabuk pengamanpun tidak akan membuat badan kita bergoncang
karena jalan disini sangatlah halus. Tapi itulah bukti bahwa orang di negara
maju sangat mencintai nyawanya.
Dalam perjalanan
menuju ke Perancis, kita melewati Belgia, lebih tepatnya Kota Antwerb. Kota ini
sangat terkenal dengan kejunya. Itu semua dibuktikan dengan banyaknya sapi yang
kita lihat berkeliaran bebas di padang rumput tepi jalan. Gulungan jerami sisa
panen juga menyambut kami seperti permadani yang digulung berjajar rapi di atas
tanah yang telah terpangkas rata. Traktor traktor yang sedang bekerjapun
menjadi pemandangan yang unik bagi kami yang lebih sering melihat kerbau
berpasangan dengan bajaknya. Traktor ini menjadi salah satu bukti majunya
teknologi di negara ini. Ini juga membuktikan bahwa penduduk di daerah ini mau
menerima perubahan seperti mekanisasi ini.
Setelah 3,5 jam
perjalanan indah ini, kami berhenti sejenak di rest area di Kota Antwerb ini. Udara di sini tidak terlalu berbeda
dengan Amsterdam, masih kering dan dingin yang kami tangkap di kulit kami. Kami
di sini makan siang dengan menu Indonesia. Meskipun rasanya cukup berbeda
dengan menu asli indonesia, tapi itu lumayan melegakan perut kami yang memang
100% perut orang Indonesia.
Kami melanjutkan
perjalanan lagi menuju kota tempat berdirinya menara indah, Eiffel. Setelah
beberapa jam menghabiskan waktu di dalam bis, akhirnya kami sampai di pusat
peradaban bangsa eropa ini. Setelah sampai, jujur saja aku sedikit kecewa, ternyata
tidak seindah yang aku bayangkan, karena bangunannya tidak sebagus Amsterdam
kemarin.
Setelah melewati
Sungai Seine, kekecewaanku sangat terobati dengan keindahan sungai ini.
Sungainya begitu bersih dan temboknya digambari dengan sangat indah. Banyak
orang yang berlalu lalang disekitar sini juga membuatnya semakin terlihat sebagai
pusat peradaban. Di jalanan sekitar sungai Seine juga macet, pembuktian besar
kalo memang tempat ini memiliki peminat yang sangat banyak. Dan tampaknya ada
banyak oknum yang memanfaatkan keadaan itu. Yaitu para pencopet, banyak sekali
orang orang yang memiliki profesi dadakan menjadi pencopet di tempat ini,
terbukti berulang kali driver dan guide kami mengingatkan bahwa kami harus
benar benar berhati hati dengan copet.
Ketika turun
dari bis kami merasakan kulit kami tidak nyaman karena ternyata Paris sangat
panas di musim panas, dan sangat berbeda dari kota kota sebelumnya yang sangat
dingin.
Setelah sampai
di depan menara Eiffel, wow, wow. Ini dia menara yang disebut sebut manusia di
seluruh dunia. Indah, megah, dilihat dari kejauhan Eiffel memang seperti
bintang yang bersinar paling terang di langit malam. Paling terlihat, paling
mencuat, paling berwibawa. Pemandangan di lapangan di depan Eiffel juga tak
kalah menarik. Tanah lapang yang luas yang disampingnya berjajar rapi pepohonan
hijau dan berujung pada sebuah bangunan yang cukup artistik. Sayangnya tempat
ini malah menjadi tempat favorit bagi pasangan pasangan muda untuk melakukan
kegiatan yang menurut orang Indonesia kurang pantas.
Lalu kami
mengunjungi Arc de Triomphe. Di tempat itu kami juga bertemu dengan teman satu
tanah air, yaitu dari Surabaya. Orang dari Surabaya, sepertinya cukup mudah
bagi mereka mengenali wajah wajah orang Indonesia di kerumunan orang orang yang
sangat banyak ini. Setelah sibuk berbelanja barang yang cukup mahal dan terlalu
mahal di sekitar Arc de Triomphe, kami menuju ke Hotel untuk dinner dan mengistirahatkan tubuh kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar