Entah berapa lama aku duduk disini. Kujajah lagi beberapa majalah yang telah selesai kubaca sejak dua jam yang lalu. Aku tak tahu apa yang telah membuat ruangan ini begitu pengap menurutku. Mungkin karena aku tak pernah keluar lagi setelah lima hari yang lalu. Terlebih lagi, tak ada yang menarik dari balok putih yang mereka sebut kamar ini. Ruangan ini begitu lengang, bahkan tempat tidur besar yang kutempati ini terlihat kecil disini. Tapi entah kenapa orang lain malah ingin berada di dalam ruang panas yang mereka sebut ruang VIP ini.
Mataku menjelajah ke seluruh ruangan. Di sudut ruangan, ada sebuah kulkas yang bahkan aku tak boleh memakan isinya, bukankah itu namanya tak berguna. Di atas sana ada sebuah AC yang selalu kuhidupkan. Namun udara AC itu sama sekali tidak membantu. Aku masih sesak dengan semua bau obat obatan di sini.
Sampai akhirnya mataku berlabuh pada sebuah lukisan besar yang digantung persis di depanku, entah apa maksudnya itu. Lukisan bunga itu diberikan kakak sulungku, Gusti tiga hari yang lalu. Ketika memberikannya dia hanya berkata, “Jika kau tahu lukisan apa ini. Kau akan terinspirasi olehnya.” Lalu tanpa meminta ijin dariku, dia dengan cepat memasang lukisan itu. Setelah selesai dia hanya tersenyum padaku lalu pamit meninggalkan ruangan membosankan ini. Dan sejak saat itu aku tak bisa menahan setiap kerutan di keningku ketika melihat lukisan itu. Bahkan aku tak pernah tahu bunga apa itu. Bagaimana bisa bunga itu bisa menginspirasiku. Bunga itu tak lebih dari bunga putih dengan sedikit warna hijau yang selalu tertunduk diantara daun daunnya yang kecil.
Tiba tiba, kurasakan lagi sakit ini. Sakit yang begitu akrab bagiku. Kepalaku pening, rasanya ingin sekali kulepaskan kepalaku ini agar sakitnya tak menjalar di tubuhku. Rambutku yang hampir habis karena segala terapi ini mulai kuremas lagi dan lagi. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk mengurangi sakitku ini. Kucoba meraih kotak obat di meja samping tempat tidur. Kucoba terus dan terus dengan terus menahan sakit yang mulai menelan kepalaku. Penglihatanku memudar, semakin gelap, semakin sakit. Kucoba meraih kotak putih itu. Rasanya kotak itu menjauhiku. Aku tak sanggup meraihnya. Kotak itu mulai pudar dari penglihatanku. Dan lagi, gelap menyelimuti ragaku.
Aku melompat lompat diantara kegelapan, berlari dalam kebebasan yang tak pernah kudapat di hidup malangku. Bermain dalam kekuatan yang tak pernah kupunya. Entah berapa lama, hingga kusadari aku telah terbangun diantara wajah wajah cemas orang yang kucinta.
“Ibuk, kakak bangun, kakak bangun...” samar samar kudengar teriakan Gilang yang memecah hening kala itu.
“Nak, kau tak apa nak? Kata dokter kau pingsan lagi.” Ibuku bertanya.
“Aku tidak apa apa, Buk. Aku baik baik saja, jangan khawatir.”
Tiba tiba dokter datang dan memanggil ibuku. Wajah dokter itu begitu nanar, tanpa perlu berkata apapun aku sudah tahu. Dokter ingin memberi tahu ibuku bahwa kangkerku ini semakin mencengkeram hidupku. Sejak dulu, dokter selalu menggunakan senyum itu untuk memberi tahu hal yang memilukan itu. Tapi tak bisa didustai lagi. Memang kangker itu menghajarku setiap saat. Menunggu waktu yang tepat untuk menelanku tak bernyawa.
Aku ingin sekali mengumpat kepada penyakit biadab ini. Belum cukupkah kau menghabisi ayahku. Hingga aku juga harus merasakan kesakitan yang mengerikan ini. Ibuku pergi meninggalkan kamar yang pedih ini. Hanya ada aku dan kakakku, Gusti disini. Kak Gusti medekati lukisan bunga aneh itu. Melihatnya sesaat lalu berbalik kepadaku.
“Hey princess, sudah tahu bunga apa ini?” kakaku tersenyum ke arahku dengan ekspresi ceria itu. Ekspresi itu tak pernah luntur dari tiap lekuk wajahnya. Namun aku benar benar tak ingin bicara. Mulutku terkunci oleh semua kenyataan yang membelenggu ini.
“Ternyata kau bahkan tidak mencari tahu,” kakaku menghela nafas, dia menunjukan wajah kecewanya. Sepertinya kakakku ingn sekali aku mencari tahu. Aku melepas kebisuan dalam diriku dan mulai berkata kata.
“Bunga itu aneh.”
“Memangnya kau tahu bunga apa itu?” kakakku tersenyum lagi.
“Bagaimana bisa aku tahu jika kau tak pernah memberi tahuku.”
“Okey, aku sudah menebak jawabanmu sebelumnya. Snow Drop, namanya Snow Drop.” Kakakku menatap lukisan itu lekat lekat.
“Lalu,,??”
“Filosofinya harapan. Dia hanya mekar di saat terdingin di musim dingin. Dia memberi harapan bahwa ada yang bisa hidup di dinginnya salju.” Kakakku berbalik ke arahku berkata sambil tersenyum, “jadi nona manis, meskipun kau hidup di celah kecil dinginnya kenyataan ini. Kau harus tahu bahwa masih ada harapan.”
Aku hanya tersenyum kecil dan menundukan kepalaku. “harapan? Itu kata yang sulit untuk insan malang sepertiku.” Aku berkata setengah berbisik. “Bahkan dokterpun tak pernah bilang aku masih punya harapan.”
“Apa dokter harus berkata seperti itu untuk menumbuhkan harapan? Harapan itu muncul di sini, di hatimu. Tak ada yang lebih yakin tentang harapanmu selain dirimu sendiri.”
Mataku panas, kurasakan ada sesuatu mengalir di pipiku. Aku tak bisa menahannya.
“Snow Drop, dia tetap berharap untuk bisa menghiasi musim dingin. Dia berusaha hidup di bekunya dunia, meskipun dia tahu. Ketika kehangatan musim semi datang, dia harus menghilang.” Kakakku diam sesaat. “Tak peduli apa yang akan terjadi nanti, tapi sekarang selama kau masih bernafas, kau masih punya harapan. Jadilah harapan untuk hidupmu sendiri. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti, tapi yang harus kau lakukan sekarang adalah melakukan yang terbaik untuk kita, Ibu, dan untuk dirimu sendiri.”
Kakakku menyodorkan sebungkus tisu untukku, dan berkata “Harapan itu adanya di sini, di hatimu. Yakinlah semuanya akan baik baik saja, maka harapan akan tumbuh dengan suburnya. Hem??”
Aku hanya bisa mengangguk, semua kata kata kakak, seperti pompa yang melambungkan aku menyentuh harapanku yang selama ini tergantung jauh di puncak langit. Air mataku terus mengalir begitu derasnya. Samar samar, di antara rentetan air mata kulihat kakakku meninggalkan balok pengap ini.
***
Kurasa seakan ruangan ini penuh dengan air mata, ruangan ini sesak dengan lebatnya kenangan tentangku. Ibu, kakak, adik, aku harap kalian bahagia berada di tempat fana ini. Waktuku telah berganti ke segala kekekalan. Kak Gusti, aku telah melakukan yang terbaik kan kak? Aku telah menumbuhkan harapan kan kak? Namun memang harapanku putus seiring putusnya aliran darahku. Namun aku tidak menyesal, harapan itu telah membuatku menjadi begitu berharga di mata kakak, dan semuanya.
Aku telah menghiasi hidup kalian semua yang sangat dingin karena kemalanganku. Sekalang giliranku untuk menghilang bersama datangnya musim semi. Seperti bunga itu.
효.순.이
|
Minggu, 17 November 2013
Cerpen : Snow Drop
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar