Pendaratan di Schipol International Airport sangatlah mulus, jujur saja, itu sungguh berbeda dengan pendaratan di Soekarno-Hatta kemarin yang sedikit lebih banyak “gronjalan”. Setelah mendarat, kami segera pergi ke tempat cek imigrasi dan mengambil barang yang tadi dimuat di bagasi. Suasana di Schipol sudah terasa sangat berbeda, sudah banyak manusia manusia bertubuh tinggi, berwajah pucat, dan berambut pirang berkelliaran di sekitar kami. Dan sebagian besar dari mereka menenteng sebuah bacaan di tangannya. Saya rasa itu adalah cara mereka untuk menghabiskan waktu di dalam pesawat ataupun di dalam kereta bawah tanah yang stasiunnya tepat berada di dekat pintu keluar bandara. Tak heran, kenapa mereka selalu memiliki pengetahuan di atas bangsa lain. Ternyata kebiasaan membaca itulah yang membawa mereka ke arah kemajuan. Dan sepertinya itu juga mulai ditiru oleh bangsa Korea dan Jepang, seperti yang saya sering lihat di film film. Merekapun suka membaca di dalam kereta.
Rasanya sedikit tidak nyaman berjalan bersampingan dengan orang Eropa. Bukan hanya karena kebiasaan berjalan dan tentengan yang berbeda, tapi tinggipun jauh sangat beda. Mengerikan, bayangkan saja, ada orang yang tinggi pantatnya sama dengan tinggi pundakku. Rasanya saat itu aku ingin berteriak, “Oh Dunia, apakah aku sekecil itu?!!”.
Keluar dari airport, mata saya semakin terbuka lebar, “It’s Europe! Amazing!”. Suasana di sini benar benar berbeda dari Indonesia. Tidak ada klakson yang saling memburu, tidak ada suara anak labil yang bicara terlalu keras di jalanan, damai, adem, menyenangkan sekali untukku yang selalu menginginkan tempat yang seperti ini. Udara di Amsterdam meskipun musim panas tetap saja cukup membuat bulu kuduk berdiri, bahkan pemandu kita yang bertempat tinggal di sanapun tidak menolak hal itu. Saya dengar orang di luar negeri lebih suka musim panas, karena itu, saya rasa Amsterdam bukanlah kota favorit mereka, tapi kalau aku, ini favoritku, udara yang dingin tanpa banyak kendaraan bermotor mengganggu telinga, ‘Inilah hidup!’
Amsterdam benar benar membuat saya terkagum kagum. Ketika menempuh perjalanan ke tujuan selanjutnya, disepanjang jalan aku lebih sering melihat sepeda biasa dibanding dengan kendaraan bermotor. Mungkin itu juga dikarenakan daratan di kota ini benar benar datar. Jadi tidak membuat jantung berkontraksi berlebihan. Tapi kalo di kampung halamanku yang bertengger di kaki gunung, rasanya nggak mungkin banget melakukan kegiatan dengan bersepeda, sama sekali enggak, soalnya bisa dibayanginlah, bersepeda di jalanan yang dikit-dikit tanjakan dikit dikit turunan itu melelahkan banget.
Keindahan sebenarnya dari kota ini benar benar terpajang di depan mata ketika kita menaiki kapal untuk berkeliling kota Amsterdam. Setiap bangunan, setiap tepi jalan, setaip kapal, semuanya tak pernah terlepas dari seni dan sejarah. Semuanya artistik. Sepertinya memang semua kalangan di amsterdam benar benar sadar akan seni dan mereka mencintai setiap jengkal sejarah nenek moyangnya.
Lalu, saya mulai berpikir, “Kenapa mereka bisa seperti itu? Bukankah sejarah Indonesia jauh lebih menakjubkan dari itu? Tapi mengapa Indonesia tidak bisa?”. Setelah saya sadari, ternyata Indonesia menggunakan cara yang salah dalam mengenalkan sejarah pada generasi muda. Di Indonesia hanya dijelaskan secara teoritis, “Bagaimana sejarah Indonesia? Apa yang ditinggalkan oleh pendahulu kita? Dimana tempat peninggalannya?” hanya itu. Dan seperti apa yang saya alami, ilmu sejarah yang saya dapat kelas 4 SD, akan diulang di kelas 2 SMP, dan setelah itu akan diulang lagi di SMA. Padahal siswa sama sekali tidak paham, hanya sekedar hafal, bukankah memprihatinkan. Dan fungsi sejarah sebenarnya itu ini, untuk rasa nasionalisme dan rasa bahwa kita memiliki bangsa yang patut dijaga dan diperindah dengan karya karya kita.
Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat selanjutnya. Yaitu bangunan yang mirip katedral. Di depan bangunan itu ada sebuah tugu yang cukup tinggi, dan di sisi depan tugu itu da banyak sekali orang yang sekedar duduk ataupun menyantap makanan dengan santai di tempat itu.
Setelah itu kami menuju hotel. Kepala saya sempat geleng geleng ketika perjalanan menuju hotel, kali ini bukan karena bangunan yang artistik lagi, tapi karena sebuah bangunan kecil yang bertuliskan jelas di depannya “Sex Museum”. Museum itu sangat mengerikan untuk orang Indonesia polos sepertiku. Itulah salah satu hal yang membuatku tidak jatuh cinta lagi pada Amsterdam, sex. Itu sama sekali tidak cocok denganku, kepribadian bangsaku, dan agamaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar